haruskah kita mangaluh....!?
Ketika kita mengeluh : “Ah mana mungkin.....”Allah menjawab : “Jika AKU
menghendaki,cukup Ku berkata “Jadi”,maka jadilah (QS. Yasin ; 82).
Ketika kita mengeluh : “Capek banget gw....”Allah menjawab : “...dan KAMI jadikan tidurmu untuk istirahat.” (QS.An-Naba :9).
Ketika kita mengeluh : “Berat banget yah, gak sanggup rasanya...”Allah menjawab : “AKU tidak membebani seseorang, melainkan sesuai kesanggupan.” (QS. Al-Baqarah : 286).
Ketika kita mengeluh : “Stressss nih...Panik...”Allah menjawab : “Hanya
dengan mengingatku hati akan menjadi tenang”. (QS.Ar-Ro’d :28).
Ketika kita mengeluh : “Yaaaahh... ini mah semua bakal sia-sia..”Allah
menjawab :”Siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarah
sekalipun,niscaya ia akan melihat balasannya”. (QS. Al-Zalzalah :7).
Ketika kita mengeluh : “Gile aje..gw sendirian..gak ada seorangpun yang
mau bantuin...”Allah menjawab : “Berdoalah (mintalah) kepadaKU,niscaya
Aku kabulkan untukmu”. (QS. Al-Mukmin :60)
Ketika kita mengeluh
: “ Duh..sedih banget deh gw...”Allah menjawab : “La Tahzan, Innallaha
Ma’ana. Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita:.
(QS. At-Taubah :40).
kita semua yg mulai galau atas perhatian
Allah yg serasa jauh dari kita padahal sebaliknya Allah dekat selalu
(QS. Al-Baqarah 186).
Kamis, 17 Oktober 2013
Senin, 14 Oktober 2013
Hakikat pesan Dakwah
A. PENDAHULUAN
Dalam
agama islam kita berkewajiban untuk berdakwah kepada siapapun. Dalam hal ini
tentulah kita tahu tenteng apa yang harus didakwahi dan kepada siapa kita harus
berdakwah.
Sebelum
hal yang diatas kita laksanakan kita harus tahu tentang hakekat dakwah terlebih
dahulu dan informasi atau pesan apa saja yang akan disampaikan dalam berdakwah.
Oleh sebab itu pemakalah akan membahas tentang hakikat dan pesan dakwah pada
pembahasan berikut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Hakikat
dan pesan dakwah
Dakwah
adalah sesuatu yang musti ada yang disampaikan secara terus-menerus. Pesan
dakwah adalah melakukan perubahan penghidupan seseorang.
Hakekat
dakwah yang ditekan oleh Allah kepada nabi dan kaumnya adalah agar terus
menerus untuk terus menyeru pada perbuatan yang ma’ruf dan mencegah pada
perbuatan yang mungkar.[1]
Dalam
syarh al-ushul al- khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan bahwa al- ma’ruf
adalah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu
yang menunjukkan kebaikan, sedangkan mungkar adalah semua perbuatan yang
pelakunya mengetahui akan keburukannya atau sesuatu yang menunjukkan kepada
keburukan. Selanjutnya Abdul Jabbar mengemukakan bahwa, perbuatan baik adalah
perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian. Sebaliknya perbuatan jahak
pelakunya berhak mendapat celaan.
Menurut
Husain al- ma’ruf bagi mu’tazilah adalah apa yang telah mereka sepakati dan
mungkar adalah apa yang pandangan orang yang berbeda faham dengan mereka.
Melaksanakan
amr ma’ruf nahi mungkar ialah suatu kewajiban bukan dari satu golongan saja,
tapi juga oleh semua golongan umat islam yang lainnya. Maka siapapun manusia
yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya sama dengan
melakukan jihad kepada orang kafir.[2] Kewajiban
al- amr bi al-ma’ruf wa al- nahi an al- mungkar adalh bagi setiap mukmin sesuai
dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau dengan cara
lainnya, ajaran ini berlaku baik terhadap orang kafir maupun orang-orang islam
yang tidak mengikuti mazhab mereka.
Dalam
syarh al-ushul al-khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan argumentasi yang
menguatkan kewajiban untuk al-ma’ruf nahi mungkar dengan surat Ali imran ayat
110:
Pada
ayat ini sebenarnya tidak ditemuibentuk perintah yang mewajibkan amr ma’ruf
nahi mungkar. Akan tetapi melihat dari sudut pujian Tuhan terhadap umat beriman
sebagai umat terbaik. Kalaulah amr ma’ruf nahi mungkar bukanlah suatu suatu
kebaikan yang wajib dilaksanakan , tentulah Tuhan tidak akan memberi pujian
tersebut. Bahkan zamaksyari seorang ulama pengarang tafsir dari kalangan
mu’tazilah lebih jauh lagi memahami ayat diatas, dan menambahkan beberapa hadis
untuk menguatkan prinsip kewajiban ini adalah fardu kifayah, karena tidak
pantaslah seseorang melaksanakan amr ma’ruf nahi mungkar tanpa mengetahui
prinsip dari ma’ruf dan mungkar tersebut. Kewajiban disini bukanlah berdasarkan
perintah, akan tetapi dati informasi. Demikian juga firman Allah yang
mengungkapkan perintah Luqman kepada anaknya.
(Luqman:17)
Perintah
melaksanakan amr ma’ruf nahi mungkar tersebut langsung kepada pribadi putra
Luqman. Ayat ini bermaksud bahwa amar ma’ruf nahi mungkar dapat ditangani
secara individual, akan tetapi pelaksanaan ini bukan berarti bahwa seluruh
kegiatan amr ma’ruf nahi mungkar dapat diselesaikan oleh setiap orang tanpa
kecuali, namun bukan berarti pula bahwa semua masalah-masalah dapat
diselesaikan oleh seseorang tertentu secara khusus. Argumen ini menunjukkan
bahwa dalam hal-hal tertentu, maka untuk menyelesaikannya adalah orang tertentu
pula. Ini berarati bahwa kemungkaran ditenga umat tetap diberantas untuk
keselamatan manusia semua.
Perbedaan dakwah dengan amr ma’ruf nahi mungkar, mubaliq, ulama,
dan umara
Sebagian
orang memendang bahwa dakwah itu sangat luas daripada sekedar melaksanakan amar
ma’ruf nahi mungkar. Menurut yang lain, kandungan dakwah tidak terlalu berbeda
dengan kandungan muatan dan tugas amar ma’ruf nahi mungkar.
jika
ditinjau dari pengertian etimologi, kata dakwah mencakup kegiatan amar ma’ruf
nahi mungkar. Karena kegiatan amar ma’ruf merupakan praktik dakwah untuk
mengajak orang melakukan dan mengikuti kebaikan, sedang kegiatan nahi mungkar
mengajak orang menjauhi dan meninggalkan segala pebuatan kejahatan. Jadi pada
kedua kegiatan tersebut ada makna dakwah atau ajakan untuk berbuat keshalehan,
baik dengan melakukan segala yang baik maupun dengan tidak melakukan yang
buruk.Namun makna dakwah tidak cukup diwakili oleh terma amar ma’ruf nahi
mungkar. Karena dakwah merupakan langkah pertama yang dijejakkan manusia pada
jalan Illahi.[3]
Adapun
amr ma’ruf nahi mungkar merupakan upaya internal untuk mengikuti islam oleh
kaum muslimin sendir, agar umat islam tetap menmpuh jalan islam dan tidak
menyimpang dari jalan yang lurus.
Syarat-syarat amr Ma’ruf nahi Mungkar
Menurut
mu’tazilah kewajiban amr ma’ruf nahi mungkar akan muncul apabila telah memenuhi
syarat-syarat berikut:
1)
Mengetahui
secara pasti bahwa apa yang akan disuruhnya baik dan yang dilarangnya itu
mungkar, karena bila tidak diketahui, bisa saja terjadi menyurh pada
kemungkaran dan melarang pada kebaikan.
2)
Mengetahui
atau berat dugaan bahwa akan terjadinya kemungkaran, seperti telah tersedianya
minum-minuman keras yang akan memabukkan dan alat-alat musik dengan nyanyian
yang diyakini akan membawa kepada kemungkaran menurut ilmu pengetahuan.
3)
Mengetahui
atau berat dugaan bahwa tindakan tersebut tidak akan mengakibatkan bahaya yang
lebih besar, seperti resiko terbunuh, perampasan harta pencemaran nama baik
atau terbakarnya suatu tempat pemukiman.
4)
Mengetahui
atau berat dugaan bahwa upaya yang dilakukan itu akan ada pengaruhnya.
5)
Mengetahui
atau berat dugaan bahwa tindakan itu tidak akan membahayakan diri dan hartanya.
Kelima
persyaratan diatas harus dipenuhi secara lengkap oleh pelaksana atau penegak
kebenaran, jika tidak, maka gugurlah kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar bagi
seseorang. Jadi disini sangat diperlukan manajemen yang matang, sehingga tidak
terjadi kekeliruan, usaha yang sia-sia ataupun dampak negatif yang lebih
berbahaya. Maka disinilah arti penting dari sifat kewajiban amar ma’ruf nahi
mungkar sebagai kewajiban kolektif.
Aplikasinya
dalam Masyarkat
Diantara
mutakallimin memandang kewajiban itu hanya dilaksanakan dengan hati atau dengan
lisan, dan ada yang berpandangan bahwa menggunakan tindakan kekerasanpun adalah
wajib jika diperlukan. Pandangn pertama dianut oleh ahl al-sunnah seperti
al-Gazali misalnya, bahwa masyarakat muslim yang yang berada dalam wilayah
penguasa zalim untuk bersikap patuh kepadanya, apabila tidak mempunyai
kemampuan untuk mengubahnya. Menurut
pandangan islam rasional, pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dapat di
aplikasikan dengan berbagai cara. Jika berhasil dengan cara yang lebih mudah,
maka tidak boleh menggunakan cara yang lebih sulit. Hal ini sesuai dengan
pengembangan akal dan diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firmannya:
(al-Hujurat:9)
Dalm
menafsirkan ayat ini Abdul Jabbar mengaitkannya dengan kewajiban amr ma’ruf
nahi mungkar. Menurutnya dalam ayat ini dijelaskan dua cara menyelesaikan
sengketa:
a.
Dengan
cara damai.
b.
Dengan
tindakan kekerasan.
Jika
cara pertama tidak efektif maka baru boleh menggunakan cara kekerasan. Keadaan
ini berarti pelaksanaan amr ma’ruf nahi mungkar harus dijalani secara bertahap
sesuai kebutuhan dan target yang akan dicapai.
C.
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Dakwah
adalah sesuatu yang musti ada yang disampaikan secara terus-menerus Sebagaimana
yang telah dijelaskan pemakalah dapat disimpulkan bahwa Pesan dakwah adalah
melakukan perubahan penghidupan seseorang. Hakekat dakwah yang ditekan oleh
Allah kepada nabi dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk terus menyeru
pada perbuatan yang ma’ruf dan mencegah pada perbuatan yang mungkar.
2.
SARAN
Pemakalah
menyadari bahwa dalam pembuatan makalh ini, pemakalah tidak luput dari
kesalahan dan kekhilafan. Dan pemakalah menyadari mungkin makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu pemakalah menyarankan kepada pembaca untuk memberikan
saran atau masukan demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar Pustaka
Amin, Samsul
Munir, Ilmu Dakwah, Amzah, Jakarta:2009
Hamka, Prinsip
dan Kebijaksanaan Dakwah islam,PT Pustaka Panjimas, Jakarta:1982
Salmadanis, Filsafat
Dakwah, Surau, Padang: 2003
pengertian metode hikmah (makalah)
PENDAHULUAN
Pada
hakekatnya dakwah adalah segala aktivitas dan kegiatan yang mengajak orang
untuk berubah dari satu situasi yang mengandung nilai kehidupan yang bukan
islami kepada nilai kehidupan yang islami.
Sejalan dengan pengertian dakwah diatas maka
metode atau cara yang digunakan dalam
mengajak tersebut haruslah sesuai pula dengan materi dan tujuan kamana ajakan
tersebut ditujukan. Dan dakwah haruslah dikemas dengan cara atau metode yang tepat
dan pas. Salah satu metode tersebut adalah metode Al-Hikmah yang akan dijelaskan dalam
makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN METODE HIKMAH
1. Menurut
bahasa:
Kata
al-hikmah memiliki banyak pengertian yang dikemukakan oleh ahli bahasa maupun
pakar Al-Qur’an, tidak hanya mencakup pamaknaan mushadaq (ekstensi)nya. Akan tetapi
juga pemaknaan dalam mafhum
(konsep)nya sehingga pemaknaannya
menjadi lebih luas dan bervariasi. Dalam beberapa kamus, kata Al-Hikmah
di artikan: Al-Adl (keadilan), Al-Hilm
(kesabaran dan ketabahan), Al-Nubuwwah (kenabian), Al-Ilm
(ilmu pengetahuan), Al-Qur’an,
falsafah, kebijakan, pemikiran atau pendapat yang baik, kebenaran sesuatu,
mengetahui sesuatu yang paling utama.
Dalam
kitab tafsir, Al-Hikmah dikemukakan sebagai berikut:
tafsir Al-Qur’an Al-Adzim
kata jalalain memberi
makna Al-Hikmah dengan Al-Qur’an.
Syeh Muhammad Nawawi
Al-Jawi memberi
makna Bil-Hikmah dengan hujjah (argumentasi), akurat, berfaedah untuk menetapkan akidah
atau keyakinan.[1]
Kata
“Hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan
sebanyak 20 kali. Bentuk masdarnya adalah “hukman”
yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan
hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka
berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas
dakwah.[2]
Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada
binatang, seperti istilah hikmatul lijam
(cambuk atau kekang kuda), itu digunakan untuk mencegah tindakan hewan. Di
artikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang kudanya dapat
mengendalikan kudanya sehingga si penunggang kuda dapat mengatur baik untuk
perintah lari atau berhenti. Dari kiasan ini maka orang yang memiliki hikmah
berarti orang yang mempunyai kendali diri dari hal-hal yang kurang bernilai
atau menurut Ahmad bin Munir Al-Muqri’
Al-Fayumi berarti mencegah dari perbuatan
yang hina.[3]
2. Al-Hikmah
menurut istilah:
M.
Abduh berpendapat bahwa, Hikmah
adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal.
Dalam
konteks ushul fiqh istilah hikmah dibahas ketika ulama ushul membicarakan sifat-sifat
yang dijadikan ilat hukum.
Orang
yang memiliki hikmah disebut
al-hakim
yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu.
Sebagai
metode dakwah Al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi
yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang
pada agama dan Tuhan.
Ibnu
Qayim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah pengetahuan
tentang kebenaran dan pengalamannya, ketepatan
dalam perkataan dan
pengamalannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami syariat-syariat
islam serta hakekat iman.[4]
Dari
beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa Al-Hikmah
adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan
menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Al-Hikmah
merupakan kemampuan da’i
dalam menjelaskan doktrin-doktrin islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis
dan bahasa yang komunikatif. Oleh sebab itu Al-Hikmah
sebagai sebuah sistem
yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.
B. CARA
MEMAHAMI MAD’U DARI SEGI STRATA SOSIAL
Salah
satu tanda kebesaran Allah di alam ini adalah keragaman makhluk bernama
manusia. Allah SWT berfirman:
“Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”. (Qs. Al-Hujurat: 13)
Dalam
ayat lain Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang Mengetahui”. (Qs. Ar-Rum: 22)[5]
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa keragaman jenis
kelamin, suku bangsa, warna kulit dan bahasa sebagai tanda kekuasaan Allah yang
perlu di teliti dengan sesama untuk mengenal lebih dekat tripologi manusia
untuk selanjutnya menentukan pola interaksi buat masing-masing kelompok yang
berbeda. Mengenal tripologi manusia adalah salah satu faktor penentu suksesnya tugas dakwah dan
merupakan salah satu fenomena alam yang hanya bisa ditangkap oleh orang alim.
M.
Bahri Ghazali mengelompokkan mad’u bardasarkan tripologi dan klasifikasi
masyarakat.
Beberdasarkan
tripologi, masyarakat dibagi dalam lima tipe, yaitu:
a) Tipe innovator,
yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena sosial yang
sifatnya membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan
antisipatif dalam setiap langkah.
b)
Tipe
pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima
pembaharuan dalam pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan
yang positif. Untuk menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka mencari
pelopor yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu.
c)
Tipe
pengikut dini, yaitu
masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap mengambil resiko dan
umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya adalah kelompok masyarat
kedua di masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas
kemasyarakan.
d)
Tipe
pengikut akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati
sehingga berdampak pada anggota masyarakat yang skeptis terhadap sikap
pembaharuan. Faktor
kehati-hatian yang berlebih, maka setiap gerakan pembaharuan memerlukan waktu
dan pendekatan yang sesuai umtuk bisa masuk.
e)
Tipe
kolot, ciri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum
mereka benar-banar terdesak oleh lingkungannya.[6]
Bahwa kita seorang da’i harus
mengetahui tipe masyarakat yang kita hadapi seperti apa masyarakat yang kita
dakwahi, dan dengan kita mengetahui tipe masyarakat atau mad’unya, maka kita
sebagai da’i dapat menggunakan metode sesuai dengan tipe masyarakat yang kita
hadapi.
C.
Metode yang digunakan dalam
pendekatan mad’u di tinjau dari strata sosial yaitu:
a.
Pendekatan
kondisi sosial budaya, yang terbagi dalam masyarakat kota dan desa.
Seorang da’i
akan lebih mudah diterima dakwahnya jika ia mampu menyesuaikan diri dengan
kodisi sosial budaya masyarakat yang akan didakwahinya, ini dilakukan dengan
tujuan agar terciptanya komunikasi dan interaksi yang baik antara da’i dan
mad’u. Dan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang baik antara da’i dan
mad’u maka da’i akan lebih mudah dalam menyampaikan dakwahnya.
Jika da’i
ingin mengembangkan dakwahnya di masyarakat pedesaan maka metode-metode yang
harus ia gunakan adalah sebagai berikut:
1.
Menggunakan
pendekatan bahasa, struktur dan kultur yang relevan dengan masyarakat pedesaan,
sederhana, dan mudah dipahami.
2. Menggunakan
metode pendekatan dan kerjasama dengan tokoh panutan atau pemimpinnya.
3. Membantu
dalam mencarikan solusi dari problema sosial, budaya, dan ekonomi yang sedang
dihadapinya.
4. Menggunakan
bahasa lisan yang komunikatif dalam penjelasan tentang sesuatu agar tidak
terjadinya kesalahan persepsi.
Beberapa model metode pengembangan
dakwah di perkotaan yaitu sebagai berikut:
1. Menggunakan
bahasa kaumnya, yakni metode dan pendekatan struktur dan kultur yang relevan
dengan masyarakat kota dengan ciri-ciri
dan karakteristiknya yang dinamis, rasional dan demokratif.
2. Menggunakan
bahasa lisan atau tulisan yang sesuai dengan pola pikir masyarakat perkotaan yang
peka terhadap informasi.
3. Melalui
kerjasama dengan institusi yang terdapat diperkotaan dan memperhatikan momentum
yang tepat karena masyarakat perkotaan mempunyai mobilitas yang tinggi dan
jangkauan aktifitas yang dinamis.
b. Pendekatan
tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok yaitu; kelompok masyarakat maju
dan kelompok masyarakat terbelakang.
Pendekatan ini dikenal dengan metode
levelisasi, penyampaian materi dakwah atau pelajaran yang dilakukan oleh Nabi
yang sering berbeda antara satu dengan yang lain, karena baliau sangat
memperhatikan level atau tingkatan kecerdasan seseorang. Sebuah hadis
menyebutkan: “kami (para nabi)
diperintahkan untuk berbicara kepada manusia menurut kemampuan akal mereka.”
Terkadang nabi tidak hanya memperhatikan tingkat kecerdasan tapi juga tingkat
emosional seseorang.
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa metode Al-Hikmah adalah kemampuan dan ketepatan
da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi
objek mad’u.
Dalam hal ini ada dua metode
memahami mad’u dari segi strata sosial yaitu:
1. Pendekatan
kondisi sosial budaya.
Seorang da’i harus mampu menyesuaikan diri dengan
budaya sosial masyarakat yang akan didakwahinya dengan tujuan agar terciptanya
komunikasi dan interaksi yang baik.
2. Pendekatan
pemikiran
Dakwah sesuia dengan intelektual masyarakat.
Dakwah
sesuai dengan kadar intelektual masyarakat.
Memahami mad’u dari strata sosial menurut M. Bahri
Ghazali mengelompokkan mad’u bardasarkan tripologi dan klasifikasi masyarakat.
Yaitu:
1.
Tipe
innovator.
2.
Tipe
pelopor.
3.
Tipe
pengikut dini.
4.
Tipe
pengikut akhir.
5.
Tipe
kolot.
B.
Saran.
Penulis menyadari tulisan ini belum seperti yang
diharapkan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan tegur sapa
yang membangun dari pembaca.
Langganan:
Postingan (Atom)