Kamis, 17 Oktober 2013

motivasi

haruskah kita mangaluh....!?

Ketika kita mengeluh : “Ah mana mungkin.....”Allah menjawab : “Jika AKU menghendaki,cukup Ku berkata “Jadi”,maka jadilah (QS. Yasin ; 82).

Ketika kita mengeluh : “Capek banget gw....”Allah menjawab : “...dan KAMI jadikan tidurmu untuk istirahat.” (QS.An-Naba :9).

Ketika kita mengeluh : “Berat banget yah, gak sanggup rasanya...”Allah menjawab : “AKU tidak membebani seseorang, melainkan sesuai kesanggupan.” (QS. Al-Baqarah : 286).

Ketika kita mengeluh : “Stressss nih...Panik...”Allah menjawab : “Hanya dengan mengingatku hati akan menjadi tenang”. (QS.Ar-Ro’d :28).

Ketika kita mengeluh : “Yaaaahh... ini mah semua bakal sia-sia..”Allah menjawab :”Siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarah sekalipun,niscaya ia akan melihat balasannya”. (QS. Al-Zalzalah :7).

Ketika kita mengeluh : “Gile aje..gw sendirian..gak ada seorangpun yang mau bantuin...”Allah menjawab : “Berdoalah (mintalah) kepadaKU,niscaya Aku kabulkan untukmu”. (QS. Al-Mukmin :60)

Ketika kita mengeluh : “ Duh..sedih banget deh gw...”Allah menjawab : “La Tahzan, Innallaha Ma’ana. Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita:. (QS. At-Taubah :40).

kita semua yg mulai galau atas perhatian Allah yg serasa jauh dari kita padahal sebaliknya Allah dekat selalu (QS. Al-Baqarah 186).

Senin, 14 Oktober 2013

Hakikat pesan Dakwah



A.    PENDAHULUAN
Dalam agama islam kita berkewajiban untuk berdakwah kepada siapapun. Dalam hal ini tentulah kita tahu tenteng apa yang harus didakwahi dan kepada siapa kita harus berdakwah.
Sebelum hal yang diatas kita laksanakan kita harus tahu tentang hakekat dakwah terlebih dahulu dan informasi atau pesan apa saja yang akan disampaikan dalam berdakwah. Oleh sebab itu pemakalah akan membahas tentang hakikat dan pesan dakwah pada pembahasan berikut.


B.     PEMBAHASAN

1.      Hakikat dan pesan dakwah
Dakwah adalah sesuatu yang musti ada yang disampaikan secara terus-menerus. Pesan dakwah adalah melakukan perubahan penghidupan seseorang.
Hakekat dakwah yang ditekan oleh Allah kepada nabi dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk terus menyeru pada perbuatan yang ma’ruf dan mencegah pada perbuatan yang mungkar.[1]
Dalam syarh al-ushul al- khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan bahwa al- ma’ruf adalah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu yang menunjukkan kebaikan, sedangkan mungkar adalah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan keburukannya atau sesuatu yang menunjukkan kepada keburukan. Selanjutnya Abdul Jabbar mengemukakan bahwa, perbuatan baik adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian. Sebaliknya perbuatan jahak pelakunya berhak mendapat celaan.
Menurut Husain al- ma’ruf bagi mu’tazilah adalah apa yang telah mereka sepakati dan mungkar adalah apa yang pandangan orang yang berbeda faham dengan mereka.
Melaksanakan amr ma’ruf nahi mungkar ialah suatu kewajiban bukan dari satu golongan saja, tapi juga oleh semua golongan umat islam yang lainnya. Maka siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah diluruskan jalan hidupnya sama dengan melakukan jihad kepada orang kafir.[2] Kewajiban al- amr bi al-ma’ruf wa al- nahi an al- mungkar adalh bagi setiap mukmin sesuai dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau dengan cara lainnya, ajaran ini berlaku baik terhadap orang kafir maupun orang-orang islam yang tidak mengikuti mazhab mereka.
Dalam syarh al-ushul al-khamsah, Qadhi Abdul Jabbar mengemukakan argumentasi yang menguatkan kewajiban untuk al-ma’ruf nahi mungkar dengan surat Ali imran ayat 110:



Pada ayat ini sebenarnya tidak ditemuibentuk perintah yang mewajibkan amr ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi melihat dari sudut pujian Tuhan terhadap umat beriman sebagai umat terbaik. Kalaulah amr ma’ruf nahi mungkar bukanlah suatu suatu kebaikan yang wajib dilaksanakan , tentulah Tuhan tidak akan memberi pujian tersebut. Bahkan zamaksyari seorang ulama pengarang tafsir dari kalangan mu’tazilah lebih jauh lagi memahami ayat diatas, dan menambahkan beberapa hadis untuk menguatkan prinsip kewajiban ini adalah fardu kifayah, karena tidak pantaslah seseorang melaksanakan amr ma’ruf nahi mungkar tanpa mengetahui prinsip dari ma’ruf dan mungkar tersebut. Kewajiban disini bukanlah berdasarkan perintah, akan tetapi dati informasi. Demikian juga firman Allah yang mengungkapkan perintah Luqman kepada anaknya.



(Luqman:17)

Perintah melaksanakan amr ma’ruf nahi mungkar tersebut langsung kepada pribadi putra Luqman. Ayat ini bermaksud bahwa amar ma’ruf nahi mungkar dapat ditangani secara individual, akan tetapi pelaksanaan ini bukan berarti bahwa seluruh kegiatan amr ma’ruf nahi mungkar dapat diselesaikan oleh setiap orang tanpa kecuali, namun bukan berarti pula bahwa semua masalah-masalah dapat diselesaikan oleh seseorang tertentu secara khusus. Argumen ini menunjukkan bahwa dalam hal-hal tertentu, maka untuk menyelesaikannya adalah orang tertentu pula. Ini berarati bahwa kemungkaran ditenga umat tetap diberantas untuk keselamatan manusia semua.
Perbedaan dakwah dengan amr ma’ruf nahi mungkar, mubaliq, ulama, dan umara
Sebagian orang memendang bahwa dakwah itu sangat luas daripada sekedar melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Menurut yang lain, kandungan dakwah tidak terlalu berbeda dengan kandungan muatan dan tugas amar ma’ruf nahi mungkar.
jika ditinjau dari pengertian etimologi, kata dakwah mencakup kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena kegiatan amar ma’ruf merupakan praktik dakwah untuk mengajak orang melakukan dan mengikuti kebaikan, sedang kegiatan nahi mungkar mengajak orang menjauhi dan meninggalkan segala pebuatan kejahatan. Jadi pada kedua kegiatan tersebut ada makna dakwah atau ajakan untuk berbuat keshalehan, baik dengan melakukan segala yang baik maupun dengan tidak melakukan yang buruk.Namun makna dakwah tidak cukup diwakili oleh terma amar ma’ruf nahi mungkar. Karena dakwah merupakan langkah pertama yang dijejakkan manusia pada jalan Illahi.[3]
Adapun amr ma’ruf nahi mungkar merupakan upaya internal untuk mengikuti islam oleh kaum muslimin sendir, agar umat islam tetap menmpuh jalan islam dan tidak menyimpang dari jalan yang lurus.

Syarat-syarat amr Ma’ruf nahi Mungkar
Menurut mu’tazilah kewajiban amr ma’ruf nahi mungkar akan muncul apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut:
1)      Mengetahui secara pasti bahwa apa yang akan disuruhnya baik dan yang dilarangnya itu mungkar, karena bila tidak diketahui, bisa saja terjadi menyurh pada kemungkaran dan melarang pada kebaikan.
2)      Mengetahui atau berat dugaan bahwa akan terjadinya kemungkaran, seperti telah tersedianya minum-minuman keras yang akan memabukkan dan alat-alat musik dengan nyanyian yang diyakini akan membawa kepada kemungkaran menurut ilmu pengetahuan.
3)      Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakan tersebut tidak akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar, seperti resiko terbunuh, perampasan harta pencemaran nama baik atau terbakarnya suatu tempat pemukiman.
4)      Mengetahui atau berat dugaan bahwa upaya yang dilakukan itu akan ada pengaruhnya.
5)      Mengetahui atau berat dugaan bahwa tindakan itu tidak akan membahayakan diri dan hartanya.

Kelima persyaratan diatas harus dipenuhi secara lengkap oleh pelaksana atau penegak kebenaran, jika tidak, maka gugurlah kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar bagi seseorang. Jadi disini sangat diperlukan manajemen yang matang, sehingga tidak terjadi kekeliruan, usaha yang sia-sia ataupun dampak negatif yang lebih berbahaya. Maka disinilah arti penting dari sifat kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban kolektif.

Aplikasinya dalam Masyarkat


Diantara mutakallimin memandang kewajiban itu hanya dilaksanakan dengan hati atau dengan lisan, dan ada yang berpandangan bahwa menggunakan tindakan kekerasanpun adalah wajib jika diperlukan. Pandangn pertama dianut oleh ahl al-sunnah seperti al-Gazali misalnya, bahwa masyarakat muslim yang yang berada dalam wilayah penguasa zalim untuk bersikap patuh kepadanya, apabila tidak mempunyai kemampuan untuk mengubahnya.  Menurut pandangan islam rasional, pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dapat di aplikasikan dengan berbagai cara. Jika berhasil dengan cara yang lebih mudah, maka tidak boleh menggunakan cara yang lebih sulit. Hal ini sesuai dengan pengembangan akal dan diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firmannya:






(al-Hujurat:9)

Dalm menafsirkan ayat ini Abdul Jabbar mengaitkannya dengan kewajiban amr ma’ruf nahi mungkar. Menurutnya dalam ayat ini dijelaskan dua cara menyelesaikan sengketa:
a.       Dengan cara damai.
b.      Dengan tindakan kekerasan.
Jika cara pertama tidak efektif maka baru boleh menggunakan cara kekerasan. Keadaan ini berarti pelaksanaan amr ma’ruf nahi mungkar harus dijalani secara bertahap sesuai kebutuhan dan target yang akan dicapai.


C.     PENUTUP

1.      KESIMPULAN

Dakwah adalah sesuatu yang musti ada yang disampaikan secara terus-menerus Sebagaimana yang telah dijelaskan pemakalah dapat disimpulkan bahwa Pesan dakwah adalah melakukan perubahan penghidupan seseorang. Hakekat dakwah yang ditekan oleh Allah kepada nabi dan kaumnya adalah agar terus menerus untuk terus menyeru pada perbuatan yang ma’ruf dan mencegah pada perbuatan yang mungkar.
2.      SARAN
Pemakalah menyadari bahwa dalam pembuatan makalh ini, pemakalah tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Dan pemakalah menyadari mungkin makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu pemakalah menyarankan kepada pembaca untuk memberikan saran atau masukan demi kesempurnaan makalah ini.



Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Amzah, Jakarta:2009
Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah islam,PT Pustaka Panjimas, Jakarta:1982
Salmadanis, Filsafat Dakwah, Surau, Padang: 2003

 

[1] Salmadanis, filsafat dakwah, hal 191
[2] Salmadanis, filsafat dakwah, hal 192

[3] Muhammad Husai Fadlulah, Metode Dakwah dalam Al- Qur’an, hal.10

pengertian metode hikmah (makalah)



PENDAHULUAN
Pada hakekatnya dakwah adalah segala aktivitas dan kegiatan yang mengajak orang untuk berubah dari satu situasi yang mengandung nilai kehidupan yang bukan islami kepada nilai kehidupan yang islami.
 Sejalan dengan pengertian dakwah diatas maka metode atau cara yang digunakan  dalam mengajak tersebut haruslah sesuai pula dengan materi dan tujuan kamana ajakan tersebut ditujukan. Dan dakwah haruslah dikemas dengan cara atau metode yang tepat dan pas. Salah satu metode tersebut adalah metode Al-Hikmah yang akan dijelaskan dalam makalah ini.


PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN METODE HIKMAH
1.      Menurut bahasa:
Kata al-hikmah memiliki banyak pengertian yang dikemukakan oleh ahli bahasa maupun pakar Al-Quran, tidak hanya mencakup pamaknaan mushadaq (ekstensi)nya. Akan tetapi juga pemaknaan dalam mafhum (konsep)nya sehingga pemaknaannya menjadi lebih luas dan bervariasi. Dalam beberapa kamus, kata Al-Hikmah di artikan: Al-Adl (keadilan), Al-Hilm (kesabaran dan ketabahan), Al-Nubuwwah (kenabian), Al-Ilm (ilmu pengetahuan), Al-Qur’an, falsafah, kebijakan, pemikiran atau pendapat yang baik, kebenaran sesuatu, mengetahui sesuatu yang paling utama.
Dalam kitab tafsir, Al-Hikmah dikemukakan sebagai berikut: tafsir Al-Qur’an Al-Adzim kata jalalain memberi makna Al-Hikmah dengan Al-Qur’an. Syeh Muhammad Nawawi Al-Jawi memberi makna Bil-Hikmah dengan hujjah (argumentasi), akurat, berfaedah untuk menetapkan akidah atau keyakinan.[1]
Kata “Hikmah” dalam Al-Qur’an  disebutkan sebanyak 20 kali. Bentuk masdarnya adalah “hukman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.[2]

Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang, seperti istilah hikmatul lijam (cambuk atau kekang kuda), itu digunakan untuk mencegah tindakan hewan. Di artikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang kudanya dapat mengendalikan kudanya sehingga si penunggang kuda dapat mengatur baik untuk perintah lari atau berhenti. Dari kiasan ini maka orang yang memiliki hikmah berarti orang yang mempunyai kendali diri dari hal-hal yang kurang bernilai atau menurut Ahmad bin Munir Al-Muqri’ Al-Fayumi berarti mencegah dari perbuatan yang hina.[3]


2.      Al-Hikmah menurut istilah:
M. Abduh berpendapat bahwa, Hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal.
Dalam konteks ushul fiqh istilah hikmah dibahas ketika ulama ushul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan ilat hukum.
Orang yang memiliki hikmah disebut al-hakim yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu.
Sebagai metode dakwah Al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang pada agama dan Tuhan.
Ibnu Qayim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengalamannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami syariat-syariat islam serta hakekat iman.[4]
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa Al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan doktrin-doktrin islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh sebab itu Al-Hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.

B.     CARA MEMAHAMI MAD’U DARI SEGI STRATA SOSIAL
Salah satu tanda kebesaran Allah di alam ini adalah keragaman makhluk bernama manusia. Allah SWT berfirman:

 Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs. Al-Hujurat: 13)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

 Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui”. (Qs. Ar-Rum: 22)[5]

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa keragaman jenis kelamin, suku bangsa, warna kulit dan bahasa sebagai tanda kekuasaan Allah yang perlu di teliti dengan sesama untuk mengenal lebih dekat tripologi manusia untuk selanjutnya menentukan pola interaksi buat masing-masing kelompok yang berbeda. Mengenal tripologi manusia adalah salah satu faktor penentu suksesnya tugas dakwah dan merupakan salah satu fenomena alam yang hanya bisa ditangkap oleh orang alim.

M. Bahri Ghazali mengelompokkan mad’u bardasarkan tripologi dan klasifikasi masyarakat.
Beberdasarkan tripologi, masyarakat dibagi dalam lima tipe, yaitu:
a)      Tipe innovator, yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena sosial yang sifatnya membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan antisipatif dalam setiap langkah.
b)      Tipe pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dalam pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan yang positif. Untuk menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka mencari pelopor yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu.
c)      Tipe pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya adalah kelompok masyarat kedua di masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas kemasyarakan.
d)      Tipe pengikut akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak pada anggota masyarakat yang skeptis terhadap sikap pembaharuan. Faktor kehati-hatian yang berlebih, maka setiap gerakan pembaharuan memerlukan waktu dan pendekatan yang sesuai umtuk bisa masuk.
e)      Tipe kolot, ciri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum mereka benar-banar terdesak oleh lingkungannya.[6]

Bahwa kita seorang da’i harus mengetahui tipe masyarakat yang kita hadapi seperti apa masyarakat yang kita dakwahi, dan dengan kita mengetahui tipe masyarakat atau mad’unya, maka kita sebagai da’i dapat menggunakan metode sesuai dengan tipe masyarakat yang kita hadapi.

C.    Metode yang digunakan dalam pendekatan mad’u di tinjau dari strata sosial  yaitu:
a.       Pendekatan kondisi sosial budaya, yang terbagi dalam masyarakat kota dan desa.
Seorang da’i akan lebih mudah diterima dakwahnya jika ia mampu menyesuaikan diri dengan kodisi sosial budaya masyarakat yang akan didakwahinya, ini dilakukan dengan tujuan agar terciptanya komunikasi dan interaksi yang baik antara da’i dan mad’u. Dan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang baik antara da’i dan mad’u maka da’i akan lebih mudah dalam menyampaikan dakwahnya.
Jika da’i ingin mengembangkan dakwahnya di masyarakat pedesaan maka metode-metode yang harus ia gunakan adalah sebagai berikut:
1.      Menggunakan pendekatan bahasa, struktur dan kultur yang relevan dengan masyarakat pedesaan, sederhana, dan mudah dipahami.
2.      Menggunakan metode pendekatan dan kerjasama dengan tokoh panutan atau pemimpinnya.
3.      Membantu dalam mencarikan solusi dari problema sosial, budaya, dan ekonomi yang sedang dihadapinya.
4.      Menggunakan bahasa lisan yang komunikatif dalam penjelasan tentang sesuatu agar tidak terjadinya kesalahan persepsi.
Beberapa model metode pengembangan dakwah di perkotaan yaitu sebagai berikut:
1.      Menggunakan bahasa kaumnya, yakni metode dan pendekatan struktur dan kultur yang relevan dengan masyarakat kota dengan ciri-ciri dan karakteristiknya yang dinamis, rasional dan demokratif.
2.      Menggunakan bahasa lisan atau tulisan yang sesuai dengan pola pikir masyarakat perkotaan yang peka terhadap informasi.
3.      Melalui kerjasama dengan institusi yang terdapat diperkotaan dan memperhatikan momentum yang tepat karena masyarakat perkotaan mempunyai mobilitas yang tinggi dan jangkauan aktifitas yang dinamis.

b.      Pendekatan tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok yaitu; kelompok masyarakat maju dan kelompok masyarakat terbelakang.
Pendekatan ini dikenal dengan metode levelisasi, penyampaian materi dakwah atau pelajaran yang dilakukan oleh Nabi yang sering berbeda antara satu dengan yang lain, karena baliau sangat memperhatikan level atau tingkatan kecerdasan seseorang. Sebuah hadis menyebutkan: “kami (para nabi) diperintahkan untuk berbicara kepada manusia menurut kemampuan akal mereka.” Terkadang nabi tidak hanya memperhatikan tingkat kecerdasan tapi juga tingkat emosional seseorang.



PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa metode Al-Hikmah adalah kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objek mad’u.
            Dalam hal ini ada dua metode memahami mad’u dari segi strata sosial yaitu:
1.      Pendekatan kondisi sosial budaya.
Seorang da’i harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya sosial masyarakat yang akan didakwahinya dengan tujuan agar terciptanya komunikasi dan interaksi yang baik.
2.      Pendekatan pemikiran
Dakwah sesuia dengan intelektual masyarakat.

Dakwah sesuai dengan kadar intelektual masyarakat.
Memahami mad’u dari strata sosial menurut M. Bahri Ghazali mengelompokkan mad’u bardasarkan tripologi dan klasifikasi masyarakat. Yaitu:
1.      Tipe innovator.
2.      Tipe pelopor.
3.      Tipe pengikut dini.
4.      Tipe pengikut akhir.
5.      Tipe kolot.

B.     Saran.
Penulis menyadari tulisan ini belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan tegur sapa yang membangun dari pembaca.


[1] Metode pengembangan dakwah, pustaka setia, 2002
[2] Metode pengembangan dakwah, pustaka setia, 2002
[3] Metode dakwah, kencana,2006
[4] Metode dakwah, kencana 2006
[5] Al-Qur’anul Qarim
[6] Metodepengembangan dakwah, pustaka setia, 2002