BAB
II
PEMBAHASAN
Sejarah
dan Perkembangan Ushul Fiqh
A.
Sejarah
Ushul Fiqh
Dalam
sejarah islam, fiqh sebagai hasil ijtihad para ulama lebih dahulu populer dikalangan
umat islam dan dibukukan dalam system tertentu dibandingkan dengan ushul fiqh.
Perumusan fiqh dilakukan setelah Nabi saw wafat, yaitu periode sahabat.
Sementara ushul fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun sebagai
salah satu bidang ilmu pada abad ke- 2 hijriyah. Namun, para ahli hukum islam
mengakui dalam prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh.
Secara metodologis fiqh tidak akan lahir tanpa ada metode istinbath dan metode
istinbath ini menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan ushul fiqh.
Di
zaman Rasulullah saw sumber hukum islam
hanya dua, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah
saw menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila
wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui
sabdanya, yang kemudian di kenal dengan hadits atau sunnah.
Dalam
menetapkan hukun dari berbagai kasus di zaman Rasulullah saw yang tidak ada
ketentuannya dalam Al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada
isyarat bahwa Rasulullah saw menetapkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat
diketahui melalui sabda Rasulullah saw.
“sesunggahnya
saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang
menyangkut agama mu, maka ambillah dia. Dan apabila aku perintahkan kepadamu
sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia
(biasa)”.(HR. Muslim dari Rafi’ ibn Khudai).
Hasil ijtihad Rasulullah saw ini secara otomatis menjadi
sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam.
Dalam beberapa kasus Rasulullah saw juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para
sahabat. contohnya, beliau menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan ‘Umar ibn
al-khaththab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya.
Rasulullah saw ketika itu bersabda:
“apabila
kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal? ‘Umar menjawab,
“tidak apa-apa (tidak batal)”. Rasulullah saw kemudian bersabda, “ maka
teruskan puasa mu””.(HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Rasulullah saw dalam hadits ini, menurut ulama ushul
fiqh, meng-qiyas-kan hukum mencium
istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang
berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa maka mencium istripun
tidak membatalkan puasa.
Cara-cara Rasulullah saw dalam menetapkan hukum inilah
yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Karenanya, para ulama ushul fiqh
menyatakan bahwa ushul fiqh bersamaan dengan hadirnya “fiqh” yaitu sejak zaman
Rasulullah saw. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan
sunnah Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin
berkembang. Para tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat tersebut
diantaranya, ‘Umar ibn al-khaththab, ‘Ali ibn Abi Thalib, dan ‘Abdullah ibn
Mas’ud.
Dalam berijtihad ‘Umar ibn al-Khaththab seringkali
mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara
zhahir. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukkan oleh pasukan islam
di suatu daerah. ‘Umar ibn al-Khaththab menetapkan bahwa tanah yang di daerah
tersebut tidak diambil, melainkan dibiarkan di garap oleh penduduk setempat,
dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada pemerintah
islam. Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan pemikiran ‘umar ibn
al-Khaththab dalam kasusu ini adalah kemaslahatan (mashlahah).
‘Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan
menggunakan qiyas. Yaitu
meng-qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan orang yang melakukan qadzaf. Alasan ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang
mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapannya
tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi
pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman bagi peminum khamar
sama dengan pelaku qadzaf. Perkembangan permasalahan dizaman sahabt ini
memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
Pada periode Tabi’in, metode istinbat ini semakin jelas
dan meluas seiringan dengan meluasnya daerah islam yang berimplikasi munculnya
persoalan baru yang membutuhkan jawaban. Situasi ini yang mendorong kalangan
tabi’in yang mendapat pendidikan dari generasi sahabat mengkhususkan diri untuk
berfatwa dan melakukan ijtihad. Diantara mereka adalah Said ibn al-musayyab,
Al-Qamah ibn Qays dan Ibrahim al-Nakho’I. Pada masa ini, menurut abu sulaiman
terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat
dijadikan sabagai hujjah (dalil hukum) dan perbedaan pendapat tentang ijma’
ahli Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma’.
Metode ijtihad semakin jelas lagi pada periode Muhammad
bin Idris al-Syafi’I, pendiri mazhab syafi’i. tokoh ini tampil meramu,
mensistemisasi dan membukukan ushul fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan keislaman saat itu. Perkembangan ilmu pengetahuan
ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyid dan puncaknya pada al-Ma’mun.
Dalam situasi inilah imam Syafi’I tampil menyusun buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan
sebutan al-Risalah yang berarti
sepucuk surat. Munculnya kitab al-Risalah
merupakan fase awal perkembangan ushul fiqh sebagai suatu desiplin ilmu. Kitab
Imam Syafi’I ini kemudian menjadi rujukan utama bagi kalangan ahli ushul pada
masa sesudahnya dalam menyusun karya-karya mereka.
B. Perkembangan Ushul Fiqh
Dalam
sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal tiga aliran yang berbeda masing-masing
aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori
yang terdapat dalam ushul fiqh.ketiga aliran tersebut adalah aliran Syafi’iyyah
atau Mutakallimin, aliran Hanafiyah, dan aliran Muta’akhirin.
1.
Aliran Syafi’iyyah atau sering dikenal
pula dengan sebutan aliran Mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini disebut aliran
Syafi’iyyah karena imam Syafi’I adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqh
dengan menggunakan system ini. Setelah itu banyak para ulama yang menngikuti
system yang telah disusun imam Syafi’I ini sehingga disebut aliran Syafi’iyyah.
Dalam
menyusun ushul fiqh aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan didukung oleh
alasan yang kuat, baikberasal dari dalil naqli (al-Qur’an dan sunnah) maupun
dalil akli (akal pikiran). Penyusunan kaidah-kaidah ini tidak terikat kepada
penyesuaian dengan furu’. Adakalanya kaidah-kaidah yang tersusun dalam ushul
fiqh mereka menguatkan furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka dan adakalanya
melemahkan furu’ mazhab tersebut.
Aliran
Syafi’iyyah ini banyak dipakai kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah. Namun, ada
uluma mazhab Syafi’I menggunakan system yang berbeda dengan ushul fiqh aliran
Syafi’iyyah meskipun dalam hal furu’ tetap mengikuti imam Syafi’i. misalnya,
imam Al-Amidi (ahli ushul fiqh mazhab syafi’i) dalam kitabnya al-Ihkam menyatakan bahwa ijma sukuti merupakan hujjah dalam menetapkan hukum. Sedangkan
imam Syafi’I tidak menggunakan ijma
sukuti sebagai hujjah.
Adapun
kitab ushul fiqh yang populer disusun mengikuti aliran Syafi’iyyah diantaranya
kitab al-Mu’tamad oleh Abi Husain
Muhammad bin Ali al-Basri al-Mu’tazili (w. 463 H), kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh oleh Abi al-Ma’aly Abd Malik bin
Abdillah al-juwaini al-Naisaburi al-Syafi’I (w. 487 H), kitaab al-Mustashfa min ilmi ushul oleh imam
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Syafi’I (w. 505 H) dan kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam oleh Abu
Hasan Alin bin Abi Ali yang dikenal dengan sebutan Saifuddin al-Amidi
al-Syafi’I (w. 631 H).
2.
Aliran Hanafiyyah yang banyak di anut
oleh ulama mazhab Hanafi. Dalam menyusun ushul fiqh, aliran ini banyak
mempertimbangkan masalah-masalah furu’
yang terdapat dalam mazhab mereka. Tegasnya, mereka menyusun uhul fiqh sengaja
untuk memperkuat pendapat mazhab yang mereka anut.
Di
antara cirri khas aliran Hanafiyyah, bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fiqh
mereka semua dapat diterapkan. Karena penyusunan ushul fiqh mereka telah
terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab
mereka.
Diantara
kitab yang disusun berdasarkan aliran Hanafiyyah, diantaranya kitab Ushul oleh Abi al-Hasan al-karkhi (w.
340 H), kitab ushul al-Jashshash oleh
Abi Bakar Ahmad Ali al-Jashshash (w. 370 H) dan kitab Ta’sis al-Nazar oleh Abi Zaid al-Dabbusi (w. 430 H).
3.
Aliran Muta’akhirin adalah aliran yang
menggabungkan kedua system yang di pakai dalam menyusun ushul fiqh oleh aliran
Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Ulama-ulama muta’akhirin melakukan tahqiq terhadap kaidah-kaidah ushuliyah
yang dirumuskan oleh kedua aliran tersebut, lalu mereka meletakkan dalil-dalil
dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada furu’ fiqhiyah.
Para
ulama yang yang menggunakanaliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan
syafi’iyyah dan hanafiyyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah sehingga
disebut sebagai aliran Muta’akhirin.
Diantara
kitab yang disusun berdasarkan aliran Muta’akhirin yaitu kitab Jam’u al-Jawami oleh Taju al-Din Abd
Wahhab bin Ali al-Subki al-Syafi’I (w. 771 H), kitab al-Tahrir oleh kamal bin Hamam kamal al-Din Muhammad bin Abd Wahid
al-Hanafi (w. 861 H), kitab Irsyad
al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilmi al Ushul oleh Muhammad bin Ali bin
Muhammad al-Syaukani (w. 1255 H).
Perkembangan
terakhir penyusunan kitab ushul fiqh tampaknya lebih banyak mengikuti cara yang
ditempuh aliran Muta’akhirin.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perumusan
fiqh dilakukan setelah Nabi saw wafat, yaitu periode sahabat. Sementara ushul
fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun sebagai salah satu bidang
ilmu pada abad ke- 2 hijriyah. Namun, para ahli hukum islam mengakui dalam
prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh. Secara
metodologis fiqh tidak akan lahir tanpa ada metode istinbath dan metode
istinbath ini menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan ushul fiqh.
Cara-cara
Rasulullah saw dalam menetapkan hukum yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul
fiqh. Karenanya, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bersamaan
dengan hadirnya “fiqh” yaitu sejak zaman Rasulullah saw.
Metode
ijtihad semakin jelas pada periode Muhammad bin Idris al-Syafi’I, pendiri
mazhab syafi’i. tokoh ini tampil meramu, mensistemisasi dan membukukan ushul
fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
keislaman saat itu. Perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung pada
masa Harun al-Rasyid dan puncaknya pada al-Ma’mun.
Dalam
sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal tiga aliran yang berbeda masing-masing
aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori
yang terdapat dalam ushul fiqh.ketiga aliran tersebut adalah aliran Syafi’iyyah
atau Mutakallimin, aliran Hanafiyah, dan aliran Muta’akhirin.
DAFTAR
PUSTAKA
Haroen,
Nasrun, ushul fiqh 1. Wacana Ilmu dan
pemikiran
Syarifudin,
Amir. Ushul Fiqih, Jakarta Timur:
Zikrul Hakim, 2004
artikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah....kalau kayak gini jadi tahu sejarahnya..tanks ya
BalasHapusiya sama-sama.
BalasHapus