Senin, 14 Oktober 2013

Sejarah dan perkembangan Ushul Fiqh



BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh

A.    Sejarah Ushul Fiqh
Dalam sejarah islam, fiqh sebagai hasil ijtihad para ulama lebih dahulu populer dikalangan umat islam dan dibukukan dalam system tertentu dibandingkan dengan ushul fiqh. Perumusan fiqh dilakukan setelah Nabi saw wafat, yaitu periode sahabat. Sementara ushul fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke- 2 hijriyah. Namun, para ahli hukum islam mengakui dalam prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh. Secara metodologis fiqh tidak akan lahir tanpa ada metode istinbath dan metode istinbath ini menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan ushul fiqh.
Di zaman Rasulullah saw  sumber hukum islam hanya dua, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah saw menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian di kenal dengan hadits atau sunnah.
Dalam menetapkan hukun dari berbagai kasus di zaman Rasulullah saw yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah saw menetapkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rasulullah saw.




“sesunggahnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agama mu, maka ambillah dia. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia (biasa)”.(HR. Muslim dari Rafi’ ibn Khudai).
            Hasil ijtihad Rasulullah saw ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam.
            Dalam beberapa kasus Rasulullah saw juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. contohnya, beliau menggunakan qiyas  ketika menjawab pertanyaan ‘Umar ibn al-khaththab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah saw  ketika itu bersabda:




“apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal? ‘Umar menjawab, “tidak apa-apa (tidak batal)”. Rasulullah saw kemudian bersabda, “ maka teruskan puasa mu””.(HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
            Rasulullah saw dalam hadits ini, menurut ulama ushul fiqh, meng-qiyas-kan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa maka mencium istripun tidak membatalkan puasa.
            Cara-cara Rasulullah saw dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Karenanya, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bersamaan dengan hadirnya “fiqh” yaitu sejak zaman Rasulullah saw. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan sunnah Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat tersebut diantaranya, ‘Umar ibn al-khaththab, ‘Ali ibn Abi Thalib, dan ‘Abdullah ibn Mas’ud.
            Dalam berijtihad ‘Umar ibn al-Khaththab seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara zhahir. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukkan oleh pasukan islam di suatu daerah. ‘Umar ibn al-Khaththab menetapkan bahwa tanah yang di daerah tersebut tidak diambil, melainkan dibiarkan di garap oleh penduduk setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada pemerintah islam. Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan pemikiran ‘umar ibn al-Khaththab dalam kasusu ini adalah kemaslahatan (mashlahah).
            ‘Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas. Yaitu meng-qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan orang yang melakukan qadzaf. Alasan ‘Ali  ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman bagi peminum khamar sama dengan pelaku qadzaf. Perkembangan permasalahan dizaman sahabt ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
            Pada periode Tabi’in, metode istinbat ini semakin jelas dan meluas seiringan dengan meluasnya daerah islam yang berimplikasi munculnya persoalan baru yang membutuhkan jawaban. Situasi ini yang mendorong kalangan tabi’in yang mendapat pendidikan dari generasi sahabat mengkhususkan diri untuk berfatwa dan melakukan ijtihad. Diantara mereka adalah Said ibn al-musayyab, Al-Qamah ibn Qays dan Ibrahim al-Nakho’I. Pada masa ini, menurut abu sulaiman terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan sabagai hujjah (dalil hukum) dan perbedaan pendapat tentang ijma’ ahli Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma’.
            Metode ijtihad semakin jelas lagi pada periode Muhammad bin Idris al-Syafi’I, pendiri mazhab syafi’i. tokoh ini tampil meramu, mensistemisasi dan membukukan ushul fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman saat itu. Perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyid dan puncaknya pada al-Ma’mun. Dalam situasi inilah imam Syafi’I tampil menyusun buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Munculnya kitab al-Risalah merupakan fase awal perkembangan ushul fiqh sebagai suatu desiplin ilmu. Kitab Imam Syafi’I ini kemudian menjadi rujukan utama bagi kalangan ahli ushul pada masa sesudahnya dalam menyusun karya-karya mereka.

B.     Perkembangan Ushul Fiqh
Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal tiga aliran yang berbeda masing-masing aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqh.ketiga aliran tersebut adalah aliran Syafi’iyyah atau Mutakallimin, aliran Hanafiyah, dan aliran Muta’akhirin.
1.      Aliran Syafi’iyyah atau sering dikenal pula dengan sebutan aliran Mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini disebut aliran Syafi’iyyah karena imam Syafi’I adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqh dengan menggunakan system ini. Setelah itu banyak para ulama yang menngikuti system yang telah disusun imam Syafi’I ini sehingga disebut aliran Syafi’iyyah.
Dalam menyusun ushul fiqh aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan didukung oleh alasan yang kuat, baikberasal dari dalil naqli (al-Qur’an dan sunnah) maupun dalil akli (akal pikiran). Penyusunan kaidah-kaidah ini tidak terikat kepada penyesuaian dengan furu’. Adakalanya kaidah-kaidah yang tersusun dalam ushul fiqh mereka menguatkan furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka dan adakalanya melemahkan furu’ mazhab tersebut.
Aliran Syafi’iyyah ini banyak dipakai kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah. Namun, ada uluma mazhab Syafi’I menggunakan system yang berbeda dengan ushul fiqh aliran Syafi’iyyah meskipun dalam hal furu’ tetap mengikuti imam Syafi’i. misalnya, imam Al-Amidi (ahli ushul fiqh mazhab syafi’i) dalam kitabnya al-Ihkam menyatakan bahwa ijma sukuti merupakan hujjah dalam menetapkan hukum. Sedangkan imam Syafi’I tidak menggunakan ijma sukuti sebagai hujjah.
Adapun kitab ushul fiqh yang populer disusun mengikuti aliran Syafi’iyyah diantaranya kitab al-Mu’tamad oleh Abi Husain Muhammad bin Ali al-Basri al-Mu’tazili (w. 463 H), kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh oleh Abi al-Ma’aly Abd Malik bin Abdillah al-juwaini al-Naisaburi al-Syafi’I (w. 487 H), kitaab al-Mustashfa min ilmi ushul oleh imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Syafi’I (w. 505 H) dan kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam oleh Abu Hasan Alin bin Abi Ali yang dikenal dengan sebutan Saifuddin al-Amidi al-Syafi’I (w. 631 H).
2.      Aliran Hanafiyyah yang banyak di anut oleh ulama mazhab Hanafi. Dalam menyusun ushul fiqh, aliran ini banyak mempertimbangkan masalah-masalah furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka. Tegasnya, mereka menyusun uhul fiqh sengaja untuk memperkuat pendapat mazhab yang mereka anut.
Di antara cirri khas aliran Hanafiyyah, bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fiqh mereka semua dapat diterapkan. Karena penyusunan ushul fiqh mereka telah terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka.
Diantara kitab yang disusun berdasarkan aliran Hanafiyyah, diantaranya kitab Ushul oleh Abi al-Hasan al-karkhi (w. 340 H), kitab ushul al-Jashshash oleh Abi Bakar Ahmad Ali al-Jashshash (w. 370 H) dan kitab Ta’sis al-Nazar oleh Abi Zaid al-Dabbusi (w. 430 H).
3.      Aliran Muta’akhirin adalah aliran yang menggabungkan kedua system yang di pakai dalam menyusun ushul fiqh oleh aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Ulama-ulama muta’akhirin melakukan tahqiq terhadap kaidah-kaidah ushuliyah yang dirumuskan oleh kedua aliran tersebut, lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada furu’ fiqhiyah.
Para ulama yang yang menggunakanaliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan syafi’iyyah dan hanafiyyah. Aliran ini muncul setelah  aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah sehingga disebut sebagai aliran Muta’akhirin.
Diantara kitab yang disusun berdasarkan aliran Muta’akhirin yaitu kitab Jam’u al-Jawami oleh Taju al-Din Abd Wahhab bin Ali al-Subki al-Syafi’I (w. 771 H), kitab al-Tahrir oleh kamal bin Hamam kamal al-Din Muhammad bin Abd Wahid al-Hanafi (w. 861 H), kitab Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilmi al Ushul oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani (w. 1255 H).
Perkembangan terakhir penyusunan kitab ushul fiqh tampaknya lebih banyak mengikuti cara yang ditempuh aliran Muta’akhirin.

BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Perumusan fiqh dilakukan setelah Nabi saw wafat, yaitu periode sahabat. Sementara ushul fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke- 2 hijriyah. Namun, para ahli hukum islam mengakui dalam prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh. Secara metodologis fiqh tidak akan lahir tanpa ada metode istinbath dan metode istinbath ini menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan ushul fiqh.
Cara-cara Rasulullah saw dalam menetapkan hukum yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Karenanya, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bersamaan dengan hadirnya “fiqh” yaitu sejak zaman Rasulullah saw.
Metode ijtihad semakin jelas pada periode Muhammad bin Idris al-Syafi’I, pendiri mazhab syafi’i. tokoh ini tampil meramu, mensistemisasi dan membukukan ushul fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman saat itu. Perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyid dan puncaknya pada al-Ma’mun.
Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal tiga aliran yang berbeda masing-masing aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqh.ketiga aliran tersebut adalah aliran Syafi’iyyah atau Mutakallimin, aliran Hanafiyah, dan aliran Muta’akhirin.




DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, ushul fiqh 1. Wacana Ilmu dan pemikiran

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqih, Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004

2 komentar:

  1. artikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah....kalau kayak gini jadi tahu sejarahnya..tanks ya

    BalasHapus