PENDAHULUAN
Pada
hakekatnya dakwah adalah segala aktivitas dan kegiatan yang mengajak orang
untuk berubah dari satu situasi yang mengandung nilai kehidupan yang bukan
islami kepada nilai kehidupan yang islami.
Sejalan dengan pengertian dakwah diatas maka
metode atau cara yang digunakan dalam
mengajak tersebut haruslah sesuai pula dengan materi dan tujuan kamana ajakan
tersebut ditujukan. Dan dakwah haruslah dikemas dengan cara atau metode yang tepat
dan pas. Salah satu metode tersebut adalah metode Al-Hikmah yang akan dijelaskan dalam
makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN METODE HIKMAH
1. Menurut
bahasa:
Kata
al-hikmah memiliki banyak pengertian yang dikemukakan oleh ahli bahasa maupun
pakar Al-Qur’an, tidak hanya mencakup pamaknaan mushadaq (ekstensi)nya. Akan tetapi
juga pemaknaan dalam mafhum
(konsep)nya sehingga pemaknaannya
menjadi lebih luas dan bervariasi. Dalam beberapa kamus, kata Al-Hikmah
di artikan: Al-Adl (keadilan), Al-Hilm
(kesabaran dan ketabahan), Al-Nubuwwah (kenabian), Al-Ilm
(ilmu pengetahuan), Al-Qur’an,
falsafah, kebijakan, pemikiran atau pendapat yang baik, kebenaran sesuatu,
mengetahui sesuatu yang paling utama.
Dalam
kitab tafsir, Al-Hikmah dikemukakan sebagai berikut:
tafsir Al-Qur’an Al-Adzim
kata jalalain memberi
makna Al-Hikmah dengan Al-Qur’an.
Syeh Muhammad Nawawi
Al-Jawi memberi
makna Bil-Hikmah dengan hujjah (argumentasi), akurat, berfaedah untuk menetapkan akidah
atau keyakinan.[1]
Kata
“Hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan
sebanyak 20 kali. Bentuk masdarnya adalah “hukman”
yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan
hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka
berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas
dakwah.[2]
Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada
binatang, seperti istilah hikmatul lijam
(cambuk atau kekang kuda), itu digunakan untuk mencegah tindakan hewan. Di
artikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang kudanya dapat
mengendalikan kudanya sehingga si penunggang kuda dapat mengatur baik untuk
perintah lari atau berhenti. Dari kiasan ini maka orang yang memiliki hikmah
berarti orang yang mempunyai kendali diri dari hal-hal yang kurang bernilai
atau menurut Ahmad bin Munir Al-Muqri’
Al-Fayumi berarti mencegah dari perbuatan
yang hina.[3]
2. Al-Hikmah
menurut istilah:
M.
Abduh berpendapat bahwa, Hikmah
adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal.
Dalam
konteks ushul fiqh istilah hikmah dibahas ketika ulama ushul membicarakan sifat-sifat
yang dijadikan ilat hukum.
Orang
yang memiliki hikmah disebut
al-hakim
yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu.
Sebagai
metode dakwah Al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi
yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang
pada agama dan Tuhan.
Ibnu
Qayim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah pengetahuan
tentang kebenaran dan pengalamannya, ketepatan
dalam perkataan dan
pengamalannya. Hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami syariat-syariat
islam serta hakekat iman.[4]
Dari
beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa Al-Hikmah
adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan
menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Al-Hikmah
merupakan kemampuan da’i
dalam menjelaskan doktrin-doktrin islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis
dan bahasa yang komunikatif. Oleh sebab itu Al-Hikmah
sebagai sebuah sistem
yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam berdakwah.
B. CARA
MEMAHAMI MAD’U DARI SEGI STRATA SOSIAL
Salah
satu tanda kebesaran Allah di alam ini adalah keragaman makhluk bernama
manusia. Allah SWT berfirman:
“Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”. (Qs. Al-Hujurat: 13)
Dalam
ayat lain Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang Mengetahui”. (Qs. Ar-Rum: 22)[5]
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa keragaman jenis
kelamin, suku bangsa, warna kulit dan bahasa sebagai tanda kekuasaan Allah yang
perlu di teliti dengan sesama untuk mengenal lebih dekat tripologi manusia
untuk selanjutnya menentukan pola interaksi buat masing-masing kelompok yang
berbeda. Mengenal tripologi manusia adalah salah satu faktor penentu suksesnya tugas dakwah dan
merupakan salah satu fenomena alam yang hanya bisa ditangkap oleh orang alim.
M.
Bahri Ghazali mengelompokkan mad’u bardasarkan tripologi dan klasifikasi
masyarakat.
Beberdasarkan
tripologi, masyarakat dibagi dalam lima tipe, yaitu:
a) Tipe innovator,
yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena sosial yang
sifatnya membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan
antisipatif dalam setiap langkah.
b)
Tipe
pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima
pembaharuan dalam pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan
yang positif. Untuk menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka mencari
pelopor yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu.
c)
Tipe
pengikut dini, yaitu
masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap mengambil resiko dan
umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya adalah kelompok masyarat
kedua di masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas
kemasyarakan.
d)
Tipe
pengikut akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati
sehingga berdampak pada anggota masyarakat yang skeptis terhadap sikap
pembaharuan. Faktor
kehati-hatian yang berlebih, maka setiap gerakan pembaharuan memerlukan waktu
dan pendekatan yang sesuai umtuk bisa masuk.
e)
Tipe
kolot, ciri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum
mereka benar-banar terdesak oleh lingkungannya.[6]
Bahwa kita seorang da’i harus
mengetahui tipe masyarakat yang kita hadapi seperti apa masyarakat yang kita
dakwahi, dan dengan kita mengetahui tipe masyarakat atau mad’unya, maka kita
sebagai da’i dapat menggunakan metode sesuai dengan tipe masyarakat yang kita
hadapi.
C.
Metode yang digunakan dalam
pendekatan mad’u di tinjau dari strata sosial yaitu:
a.
Pendekatan
kondisi sosial budaya, yang terbagi dalam masyarakat kota dan desa.
Seorang da’i
akan lebih mudah diterima dakwahnya jika ia mampu menyesuaikan diri dengan
kodisi sosial budaya masyarakat yang akan didakwahinya, ini dilakukan dengan
tujuan agar terciptanya komunikasi dan interaksi yang baik antara da’i dan
mad’u. Dan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang baik antara da’i dan
mad’u maka da’i akan lebih mudah dalam menyampaikan dakwahnya.
Jika da’i
ingin mengembangkan dakwahnya di masyarakat pedesaan maka metode-metode yang
harus ia gunakan adalah sebagai berikut:
1.
Menggunakan
pendekatan bahasa, struktur dan kultur yang relevan dengan masyarakat pedesaan,
sederhana, dan mudah dipahami.
2. Menggunakan
metode pendekatan dan kerjasama dengan tokoh panutan atau pemimpinnya.
3. Membantu
dalam mencarikan solusi dari problema sosial, budaya, dan ekonomi yang sedang
dihadapinya.
4. Menggunakan
bahasa lisan yang komunikatif dalam penjelasan tentang sesuatu agar tidak
terjadinya kesalahan persepsi.
Beberapa model metode pengembangan
dakwah di perkotaan yaitu sebagai berikut:
1. Menggunakan
bahasa kaumnya, yakni metode dan pendekatan struktur dan kultur yang relevan
dengan masyarakat kota dengan ciri-ciri
dan karakteristiknya yang dinamis, rasional dan demokratif.
2. Menggunakan
bahasa lisan atau tulisan yang sesuai dengan pola pikir masyarakat perkotaan yang
peka terhadap informasi.
3. Melalui
kerjasama dengan institusi yang terdapat diperkotaan dan memperhatikan momentum
yang tepat karena masyarakat perkotaan mempunyai mobilitas yang tinggi dan
jangkauan aktifitas yang dinamis.
b. Pendekatan
tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok yaitu; kelompok masyarakat maju
dan kelompok masyarakat terbelakang.
Pendekatan ini dikenal dengan metode
levelisasi, penyampaian materi dakwah atau pelajaran yang dilakukan oleh Nabi
yang sering berbeda antara satu dengan yang lain, karena baliau sangat
memperhatikan level atau tingkatan kecerdasan seseorang. Sebuah hadis
menyebutkan: “kami (para nabi)
diperintahkan untuk berbicara kepada manusia menurut kemampuan akal mereka.”
Terkadang nabi tidak hanya memperhatikan tingkat kecerdasan tapi juga tingkat
emosional seseorang.
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa metode Al-Hikmah adalah kemampuan dan ketepatan
da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi
objek mad’u.
Dalam hal ini ada dua metode
memahami mad’u dari segi strata sosial yaitu:
1. Pendekatan
kondisi sosial budaya.
Seorang da’i harus mampu menyesuaikan diri dengan
budaya sosial masyarakat yang akan didakwahinya dengan tujuan agar terciptanya
komunikasi dan interaksi yang baik.
2. Pendekatan
pemikiran
Dakwah sesuia dengan intelektual masyarakat.
Dakwah
sesuai dengan kadar intelektual masyarakat.
Memahami mad’u dari strata sosial menurut M. Bahri
Ghazali mengelompokkan mad’u bardasarkan tripologi dan klasifikasi masyarakat.
Yaitu:
1.
Tipe
innovator.
2.
Tipe
pelopor.
3.
Tipe
pengikut dini.
4.
Tipe
pengikut akhir.
5.
Tipe
kolot.
B.
Saran.
Penulis menyadari tulisan ini belum seperti yang
diharapkan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan tegur sapa
yang membangun dari pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar